KIDUNG ASMARADHANA
Aftika Nur Khasanah
Gemuruh di atas
langit bersahutan. Air turun dari langit, berlompatan di atas genteng rapuh
rumah gedheg. Gemericik air yang turun seakan berebut untuk merobohkan rumah
yang sudah doyong itu.
Sore itu, gerimis
masih bersemangat menyirami alam raya, menghijaukannya, meninggalkan jejak
basah pada muka sang tanah, menjadikannya becek. Dedaunan di pohon kelapa
melambai perlahan seakan ingin menunjukkan kebahagiaannya bermandikan air
hujan. Sorot lampu alam kuning kemerahan dari barat membuat dedaunan itu semakin
indah berkilauan.
Riuh anak - anak
bermain hujan di luar rumah pun menggema mengiringi kebahagiaan sang daun. Juga
sekumpulan kodok yang kemudian menggelar konser mereka di sawah.
Lek Tarman, pria 55
tahun itu termenung di balik jendela, raut mukanya mengisyaratkan kekecewaan.
Sebentar – sebentar kepalanya mendongak ke langit, memeriksa keadaan di atas
sana. Kemudian ia mengalihkan pandangannya pada jam kecil yang menempel di
dinding gedheknya. Sebentar lagi jam itu menunjukkan pukul empat sore, tapi
awan tebal berwarna abu – abu masih betah menggantung di angkasa. Begitupun hujan,
dengan pasukan panah air yang masih semangat menyerang.
“Bagaimana ini,
Pak, apa hari ini kita ndak tidak keluar lagi, Pak?” tanya Yu Sumini, istri Wak
Adul.
“Bagaimana lagi,
Mak, cuaca seperti ini juga pasti akan sepi, berdoa saja hujan cepat reda ya,
Mak.” jawab Lek Tarman pasrah.
Seminggu ini Lek
Tarman dan istrinya tidak bisa beraktifitas seperti biasa. Hujan terus –
menerus membuat mereka sangat resah. Pekerjaan mereka yang hanya bakul cilik bergantung
pada cuaca, sebagai bakul gorengan peruntungan mereka tidak seberapa. Apalagi
bila hujan terus seperti ini, mungkin barang dagangan mereka hanya akan dimakan
sendiri.
“Nduk, sudah
selesai buat apa itu, cer cer, apa?” tanya Yu Sumini pada gadis semata
wayangnya.
Namanya Rara, gadis
kelas 3 SMA yang sederhana, bersahaja dan rajin. “Cerpen, Mak. Sebentar lagi,
tinggal menyempurnakannya, Mak.” jawab Rara tersenyum sambil membetulkan jilbab
merah jambunya. Sebentar lagi Rara akan mengikuti lomba tingkat nasional dalam
penulisan cerpen. Lumayan, beasiswa luar negeri menjadi hadiah utamanya.
Lek Tarman kembali
menatap langit, wajahnya semakin gelisah. “Ah, andai saja dulu aku ini orang
kaya, bisa sekolah tinggi. Mungkin nasibku ndak bakal begini.” batin Lek Tarman.
“Tapi, ini kan sudah suratan Gusti Allah to, pasti ini yang terbaik dari
Allah.” tolaknya kemudian. Renungannya saat ini sangat terasa, apalagi saat ia
melihat anak semata wayangnya telah beranjak besar.
“Pak, ini teh
angetnya diunjuk dulu, sambil menunggu hujan reda.”
“Oh iya, Bu,
terimakasih.” Lek Tarman tergeragap.
“Pak, ingat ndak
kudangan kita buat anak kita dulu? Dulu sering kita kudang – kudang biar bisa
jadi professor.” kenang Yu Sumini sambil menatap Rara yang sedang asyik
menulis.
“Iya, Mak. Dulu
waktu si Rara kecil sering Bapak nyanyikan tembang.” Lek Tarman menjawab.
“Masa to, Pak?
Bukannya Bapak itu ndak bisa nyanyi to Mak?” jawab Rara sambil mengerlingkan
mata meledek.
“Iya, Pak. Kan
Bapak ndak bisa nyanyi.” timpal Yu Sumini.
“Haha, iya Mak. Bapak
lupa kalau ndak bisa nyanyi. Hahaha ...”
“Pak, Mak, Rara
pingin kuliah, terus bisa sukses keliling dunia seperti teman – teman yang
lainnya.” ucap Rara lirih sambil mengamati wajah kedua orang tuanya, ia takut
membuat mereka sedih.
Lek Tarman dan Yu
Sumini terdiam cukup lama, hanya desah nafas mereka yang terdengar semakin
berat. Sungguh ingin rasanya Rara menarik kata – katanya, ia menyesal
melontarkan kata – kata itu. Seharusnya ia cukup sadar dengan keadaan
perekonomian keluarganya, bersyukur masih bisa menikmati nasi dengan lauk
seadanya dan berterimakasih masih diberi kesempatan untuk mencicipi bangku SMA.
Profesi orang tuanya yang hanya bakul gorengan pasti sangat berat, sangat
sulit. Harusnya Rara tak berhak menuntut, tapi dia juga punya mimpi sama
seperti teman sebayanya. Apa salah kalau dia juga ingin sukses seperti itu?
Tidak, tidak ada yang salah, hanya mungkin waktunya yang belum tepat.
“Rara …” Lek
Tarman memecah sepi yang cukup lama tercipta.
Perlahan Rara
mengangkat wajahnya, dipandanginya asal suara yang memanggilnya. Lek Tarman terdiam
lagi cukup lama, membuat Rara semakin menyesal. Ditatapnya wajah tirus keriput
dengan tubuh semakin kurus.
“Jika memang seperti itu inginmu, biarkan saja
Nduk itu terwujud …” Lek Tarman terdiam, dia palingkan wajahnya dari Rara.
“Nduk, Mamak tahu
kamu anak yang cerdas, anak kami yang paling hebat, Sayang. Kami yakin kamu pasti
bisa mencapai keinginanmu jangan takut, Nduk.” lanjut Yu Sumini. Bibirnya
bergetar, perlahan tapi jelas, ia menangis.
Rara tersenyum,
trenyuh hatinya. Betapa besar kasih sayang kedua orang tuanya, dia mengerti bahwa orang tuanya pun belum tahu apakah cita – cita anaknya dapat
terwujud atau tidak. Namun Lek Tarman dan Yu Sumini tidak ingin memupuskan
angan anak semata wayangnya. Terlalu dini untuk memupuskan angan yang belum
berkembang secara sempurna, yang mereka tahu sebagai orang dusun adalah agar
gadisnya yang mulai berkembang itu tetap semangat dan bahagia.
“Bapak, Mamak,
Rara janji akan buat kalian bangga sama Rara.” ucap Rara dalam hati.
Sepi tiba – tiba
menguap menguasai ruang tamu sederhana dalam rumah beralaskan tanah itu,
menjadikan dinginnya hujan memenuhi ruang tamu itu. Tak satu pun berniat
membuka suara, masing – masing terhanyut dalam khayalnya.
“Pak, Mak …” Rara
memecah keheningan.
“Ya Nduk.” jawab Lek
Tarman dan Yu Sumini bersamaan.
“Rara sayang
Bapak dan Mamak.”
Lek Tarman, Yu
Sumini dan Rara tersenyum, bersamaan dengan hujan yang reda.
“Mak, ayo
berangkat hujannya sudah reda.” ajak Lek Tarman pada Yu Sumini.
“Ayo, Pak. Nduk,
hati – hati di rumah ya. Semangat mengerjakan cer apa?”
“Cerpen, Mak.”
Di ujung senja
yang indah itu, di mana pelangi menyambut kepergian sepasang malaikat Rara berangkat
mencari nafkah selepas hujan reda. Jauh di belakang punggung mereka berdua,
Rara mengamati dalam – dalam. Dua orang setengah baya yang semangat mendorong
gerobak gorengan. Dalam hatinya, Rara
merasa bangga sekaligus beruntung memiliki orang tua seperti Lek Tarman dan Yu Sumini. Rara hanya bisa
berharap Allah akan segera mengabulkan impiannya untuk membanggakan kedua orang tuanya.
Sedangkan Lek
Tarman dan Yu Sumini mengiringi langkahnya dengan beribu doa. “Semoga
daganganku yang tak seberapa ini bisa laris, semoga aku bisa mewujudkan impian
anak semata wayangku, semoga. semoga dan semoga.” ucap Wak Adul dalam hati.
Semangat mereka
terpancar melalui senyum yang merekah, wajah yang bercahaya, berseri – seri.
Menantikan hari esok, saat sang gadis semata wayangnya menjadi orang sukses. “Ya
Allah, ijinkan kami memenuhi keinginan gadis kami, Ya Rabb.” batin Yu Sumini.
*******
Allah mungkin
tidak memberi yang kita inginkan
Tapi Allah Maha
Tahu apa yang kita butuhkan
Sebanding dengan
usaha kita
Maka itulah
jawabannya
Hasil dari proses
Keajaiban dari
penjumlahan usaha dan doa
Senyum Rara mengembang,
tertawa lepas. Airmata mengalir deras, tapi ia bukan menangis. Di tangan
kirinya sebuah piala besar bertengger dan di tangan kanannya ada sebuah tangan
yang selama ini rindu ia jabat. Ah, ia tak pernah meragukan usaha, tak pernah
sekalipun. Doa kedua orang
tuanya pun ia
jadikan semangat dan dorongan. Sekali lagi Rara merasa bangga memiliki orang tua seperti Lek Tarman dan Yu Sumini. Mereka terlalu
hebat untuk sekadar menjadi bakul gorengan.
“Selamat Nduk,
kamu berhasil membuktikan pada kami, kamu berhasil membanggakan kami Nduk.” Lek
Tarman dan Yu Sumini menyambut Rara di pelukannya.
“Terimakasih Pak,
Mak. Rara bangga sama kalian, Rara sayang kalian.”
“Ya, kepada Rara
sebagai juara pertama, dipersilahkan untuk memberi sambutan.”
“Terimakasih,
terimakasih pada Allah SWT yang telah menganugerahi saya kedua orang tua hebat, terimakasih pada kedua orang tua saya yang telah menjadikan saya bisa berada di sini,
terimakasih dan terimakasih.” Rara menangis.
*******
“Rara …”
Rara terkesiap,
terkejut. Rara membuka matanya, dipandangnya asal suara itu, lalu tersenyum.
“Mas Ardi, ada apa?”
“Kamu baik – baik
saja? Sebentar lagi seminar akan dimulai Sayang, kamu siap kan menginspirasi
untuk internasional?” ucap Ardi sambil tersenyum.
“Ah, iya. Pak,
Mak, hari ini akan kubuktikan pada dunia bahwa anak bakul gorengan bisa
mendunia, bahwa di Indonesia ada orang
tua hebat yang
sangat menginspirasi”
Hari ini Rara
akan mengisi seminar di Perancis, Eropa. Didampingi Ardi, suaminya, ia
melangkah anggun dengan jilbab lebar yang menghiasi kepalanya dan senyum merona
yang tersungging di wajahnya. Di hadapannya sebuah baliho besar bertuliskan
“BIENVENUE RARA” menyambutnya, di sisi lain baliho juga ada tulisan
“IRRASHAIMASAI”. Kebahagiaan membuncah di hati Rara, Perancis dan Jepang
sungguh mimpinya sewaktu SMA semakin dekat. Dua negara dengan nasionalisme
tinggi, mengagumkan.
Tit tit tilutit …
“Bonjol,
biangpenyu at prances”
“Ahaha, Bapak,
Mamak.”
“Kenapa ketawa Nang?
Apa kata – kata kami masih salah?” ucap Wak Adul di ujung sana.
“Yang benar,
bonjour, bienvenue at france, Pak.” ralat Ardi yang masih tertawa.
“Oh, iya itu
maksud Bapak. Sudah sampai Perancis Nang?”
“Sampun Pak, ini malah
sudah mau mulai.”
“Ya sudah, hati –
hati ya di negeri orang, jaga Rara jangan sampai pental lho”
“Inggih Mak.”
“Yowis, bon
corage yo, salam buat Raranya.”
“Nggih Mak.”
Tut tut tut …
Ardi tersenyum,
ia sadar mengapa Rara sangat membangga
-banggakan orang tuanya di hadapan Ardi. Karena mereka hebat.
Sangat hebat untuk ukuran bakul gorengan.
“And then she is
Mrs. Rara, give applause Profesor Rara from Indonesia, as a inspirational woman
in world.”
Senyum Ardi
semakin lebar, “Inikah anak bakul gorengan yang aku kenal? Sungguh lebih dari
cantik, sungguh mempesonanya gadisku ini. Gambaran nyata kehebatan orang tuanya.”
*****
Ardi masih saja tersenyum selepas acara
seminar Rara. “Mas Ardi, Rara llihat dari tadi Mas Ardi tersenyum terus, ada
yang salah sama Rara?” tanya Rara penasaran.
“Ah, tidak ada yang salah, Rara istriku. Hanya
aku merasa sangat bangga mempunyai istri sepertimu.” Ardi terdiam sejenak
sambil tersenyum lebih lebar. “Apa kau tak malu punya suami hanya wiraswasta
seperti aku? Sedangkan dirimu bergelar Profesor.” lanjut Ardi bimbang.
Rara tersenyum, sehingga Ardi menjadi bingung.
“Mas, seorang ibu harus memiliki pendidikan yang tinggi karena dia akan menjadi
madrasah pertama bagi anak - anaknya kelak. Itu alasan Rara mengejar pendidikan
setinggi mungkin. Dan untuk pekerjaan Mas Ardi, yang Rara tahu Allah telah
menentukan rezeki orang dengan jalan dan cara masing - masing. Selama itu halal
Rara akan menerimannya, Mas, apa yang salah dengan seorang wirausaha apalagi
dia bisa membuka lapangan kerja untuk orang lain.” tutur Rara dengan antusias.
Ardi hanya bisa tersenyum, “Aku tidak salah
mencari istri. Rara, istriku yang solekhah, cerdas, dan bijaksana.”
“Ah, Mas Ardi bisa saja.” merahlah wajah Rara.
“ Bu Profesor mau makan apa hari ini? Oh, nasi
putih dan kepiting rebus? Baik, kepiting rebusnya sudah berwarana kemerahan. “
sindir Ardi sambil mengerlingkan mata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar