Senin, 29 Desember 2014

Berkarya sedikit apapun

KIDUNG ASMARADHANA
Aftika Nur Khasanah

Gemuruh di atas langit bersahutan. Air turun dari langit, berlompatan di atas genteng rapuh rumah gedheg. Gemericik air yang turun seakan berebut untuk merobohkan rumah yang sudah doyong itu.
Sore itu, gerimis masih bersemangat menyirami alam raya, menghijaukannya, meninggalkan jejak basah pada muka sang tanah, menjadikannya becek. Dedaunan di pohon kelapa melambai perlahan seakan ingin menunjukkan kebahagiaannya bermandikan air hujan. Sorot lampu alam kuning kemerahan dari barat membuat dedaunan itu semakin indah berkilauan.
Riuh anak - anak bermain hujan di luar rumah pun menggema mengiringi kebahagiaan sang daun. Juga sekumpulan kodok yang kemudian menggelar konser mereka di sawah.
Lek Tarman, pria 55 tahun itu termenung di balik jendela, raut mukanya mengisyaratkan kekecewaan. Sebentar – sebentar kepalanya mendongak ke langit, memeriksa keadaan di atas sana. Kemudian ia mengalihkan pandangannya pada jam kecil yang menempel di dinding gedheknya. Sebentar lagi jam itu menunjukkan pukul empat sore, tapi awan tebal berwarna abu – abu masih betah menggantung di angkasa. Begitupun hujan, dengan pasukan panah air yang masih semangat menyerang.
“Bagaimana ini, Pak, apa hari ini kita ndak tidak keluar lagi, Pak?” tanya Yu Sumini, istri Wak Adul.
“Bagaimana lagi, Mak, cuaca seperti ini juga pasti akan sepi, berdoa saja hujan cepat reda ya, Mak.” jawab Lek Tarman pasrah.
Seminggu ini Lek Tarman dan istrinya tidak bisa beraktifitas seperti biasa. Hujan terus – menerus membuat mereka sangat resah. Pekerjaan mereka yang hanya bakul cilik bergantung pada cuaca, sebagai bakul gorengan peruntungan mereka tidak seberapa. Apalagi bila hujan terus seperti ini, mungkin barang dagangan mereka hanya akan dimakan sendiri.
“Nduk, sudah selesai buat apa itu, cer cer, apa?” tanya Yu Sumini pada gadis semata wayangnya.
Namanya Rara, gadis kelas 3 SMA yang sederhana, bersahaja dan rajin. “Cerpen, Mak. Sebentar lagi, tinggal menyempurnakannya, Mak.” jawab Rara tersenyum sambil membetulkan jilbab merah jambunya. Sebentar lagi Rara akan mengikuti lomba tingkat nasional dalam penulisan cerpen. Lumayan, beasiswa luar negeri menjadi hadiah utamanya.
Lek Tarman kembali menatap langit, wajahnya semakin gelisah. “Ah, andai saja dulu aku ini orang kaya, bisa sekolah tinggi. Mungkin nasibku ndak bakal begini.” batin Lek Tarman. “Tapi, ini kan sudah suratan Gusti Allah to, pasti ini yang terbaik dari Allah.” tolaknya kemudian. Renungannya saat ini sangat terasa, apalagi saat ia melihat anak semata wayangnya telah beranjak besar.
“Pak, ini teh angetnya diunjuk dulu, sambil menunggu hujan reda.”
“Oh iya, Bu, terimakasih.” Lek Tarman tergeragap.
“Pak, ingat ndak kudangan kita buat anak kita dulu? Dulu sering kita kudang – kudang biar bisa jadi professor.” kenang Yu Sumini sambil menatap Rara yang sedang asyik menulis.
“Iya, Mak. Dulu waktu si Rara kecil sering Bapak nyanyikan tembang.” Lek Tarman menjawab.
“Masa to, Pak? Bukannya Bapak itu ndak bisa nyanyi to Mak?” jawab Rara sambil mengerlingkan mata meledek.
“Iya, Pak. Kan Bapak ndak bisa nyanyi.” timpal Yu Sumini.
“Haha, iya Mak. Bapak lupa kalau ndak bisa nyanyi. Hahaha ...”
“Pak, Mak, Rara pingin kuliah, terus bisa sukses keliling dunia seperti teman – teman yang lainnya.” ucap Rara lirih sambil mengamati wajah kedua orang tuanya, ia takut membuat mereka sedih.
Lek Tarman dan Yu Sumini terdiam cukup lama, hanya desah nafas mereka yang terdengar semakin berat. Sungguh ingin rasanya Rara menarik kata – katanya, ia menyesal melontarkan kata – kata itu. Seharusnya ia cukup sadar dengan keadaan perekonomian keluarganya, bersyukur masih bisa menikmati nasi dengan lauk seadanya dan berterimakasih masih diberi kesempatan untuk mencicipi bangku SMA. Profesi orang tuanya yang hanya bakul gorengan pasti sangat berat, sangat sulit. Harusnya Rara tak berhak menuntut, tapi dia juga punya mimpi sama seperti teman sebayanya. Apa salah kalau dia juga ingin sukses seperti itu? Tidak, tidak ada yang salah, hanya mungkin waktunya yang belum tepat.
“Rara …” Lek Tarman memecah sepi yang cukup lama tercipta.
Perlahan Rara mengangkat wajahnya, dipandanginya asal suara yang memanggilnya. Lek Tarman terdiam lagi cukup lama, membuat Rara semakin menyesal. Ditatapnya wajah tirus keriput dengan tubuh semakin kurus.
 “Jika memang seperti itu inginmu, biarkan saja Nduk itu terwujud …” Lek Tarman terdiam, dia palingkan wajahnya dari Rara.
“Nduk, Mamak tahu kamu anak yang cerdas, anak kami yang paling hebat, Sayang. Kami yakin kamu pasti bisa mencapai keinginanmu jangan takut, Nduk.” lanjut Yu Sumini. Bibirnya bergetar, perlahan tapi jelas, ia menangis.
Rara tersenyum, trenyuh hatinya. Betapa besar kasih sayang kedua orang tuanya, dia mengerti bahwa orang tuanya pun belum tahu apakah cita – cita anaknya dapat terwujud atau tidak. Namun Lek Tarman dan Yu Sumini tidak ingin memupuskan angan anak semata wayangnya. Terlalu dini untuk memupuskan angan yang belum berkembang secara sempurna, yang mereka tahu sebagai orang dusun adalah agar gadisnya yang mulai berkembang itu tetap semangat dan bahagia.
“Bapak, Mamak, Rara janji akan buat kalian bangga sama Rara.” ucap Rara dalam hati.
Sepi tiba – tiba menguap menguasai ruang tamu sederhana dalam rumah beralaskan tanah itu, menjadikan dinginnya hujan memenuhi ruang tamu itu. Tak satu pun berniat membuka suara, masing – masing terhanyut dalam khayalnya.
“Pak, Mak …” Rara memecah keheningan.
“Ya Nduk.” jawab Lek Tarman dan Yu Sumini bersamaan.
“Rara sayang Bapak dan Mamak.”
Lek Tarman, Yu Sumini dan Rara tersenyum, bersamaan dengan hujan yang reda.
“Mak, ayo berangkat hujannya sudah reda.” ajak Lek Tarman pada Yu Sumini.
“Ayo, Pak. Nduk, hati – hati di rumah ya. Semangat mengerjakan cer apa?”
“Cerpen, Mak.”
Di ujung senja yang indah itu, di mana pelangi menyambut kepergian sepasang malaikat Rara berangkat mencari nafkah selepas hujan reda. Jauh di belakang punggung mereka berdua, Rara mengamati dalam – dalam. Dua orang setengah baya yang semangat mendorong gerobak  gorengan. Dalam hatinya, Rara merasa bangga sekaligus beruntung memiliki orang tua seperti Lek Tarman dan Yu Sumini. Rara hanya bisa berharap Allah akan segera mengabulkan impiannya untuk membanggakan kedua orang tuanya.
Sedangkan Lek Tarman dan Yu Sumini mengiringi langkahnya dengan beribu doa. “Semoga daganganku yang tak seberapa ini bisa laris, semoga aku bisa mewujudkan impian anak semata wayangku, semoga. semoga dan semoga.” ucap Wak Adul dalam hati.
Semangat mereka terpancar melalui senyum yang merekah, wajah yang bercahaya, berseri – seri. Menantikan hari esok, saat sang gadis semata wayangnya menjadi orang sukses. “Ya Allah, ijinkan kami memenuhi keinginan gadis kami, Ya Rabb.” batin Yu Sumini.
*******
Allah mungkin tidak memberi yang kita inginkan
Tapi Allah Maha Tahu apa yang kita butuhkan
Sebanding dengan usaha kita
Maka itulah jawabannya
Hasil dari proses
Keajaiban dari penjumlahan usaha dan doa
Senyum Rara mengembang, tertawa lepas. Airmata mengalir deras, tapi ia bukan menangis. Di tangan kirinya sebuah piala besar bertengger dan di tangan kanannya ada sebuah tangan yang selama ini rindu ia jabat. Ah, ia tak pernah meragukan usaha, tak pernah sekalipun. Doa kedua orang tuanya pun ia jadikan semangat dan dorongan. Sekali lagi Rara merasa bangga memiliki orang tua seperti Lek Tarman dan Yu Sumini. Mereka terlalu hebat untuk sekadar menjadi bakul gorengan.
“Selamat Nduk, kamu berhasil membuktikan pada kami, kamu berhasil membanggakan kami Nduk.” Lek Tarman dan Yu Sumini menyambut Rara di pelukannya.
“Terimakasih Pak, Mak. Rara bangga sama kalian, Rara sayang kalian.”
“Ya, kepada Rara sebagai juara pertama, dipersilahkan untuk memberi sambutan.”
“Terimakasih, terimakasih pada Allah SWT yang telah menganugerahi saya kedua orang tua hebat, terimakasih pada kedua orang tua saya yang telah menjadikan saya bisa berada di sini, terimakasih dan terimakasih.” Rara menangis.
*******
“Rara …”
Rara terkesiap, terkejut. Rara membuka matanya, dipandangnya asal suara itu, lalu tersenyum. “Mas Ardi, ada apa?”
“Kamu baik – baik saja? Sebentar lagi seminar akan dimulai Sayang, kamu siap kan menginspirasi untuk internasional?” ucap Ardi sambil tersenyum.
“Ah, iya. Pak, Mak, hari ini akan kubuktikan pada dunia bahwa anak bakul gorengan bisa mendunia, bahwa di Indonesia ada orang tua hebat yang sangat menginspirasi”
Hari ini Rara akan mengisi seminar di Perancis, Eropa. Didampingi Ardi, suaminya, ia melangkah anggun dengan jilbab lebar yang menghiasi kepalanya dan senyum merona yang tersungging di wajahnya. Di hadapannya sebuah baliho besar bertuliskan “BIENVENUE RARA” menyambutnya, di sisi lain baliho juga ada tulisan “IRRASHAIMASAI”. Kebahagiaan membuncah di hati Rara, Perancis dan Jepang sungguh mimpinya sewaktu SMA semakin dekat. Dua negara dengan nasionalisme tinggi, mengagumkan.
Tit tit tilutit …
“Bonjol, biangpenyu at prances”
“Ahaha, Bapak, Mamak.”
“Kenapa ketawa Nang? Apa kata – kata kami masih salah?” ucap Wak Adul di ujung sana.
“Yang benar, bonjour, bienvenue at france, Pak.” ralat Ardi yang masih tertawa.
“Oh, iya itu maksud Bapak. Sudah sampai Perancis Nang?”
“Sampun Pak, ini malah sudah mau mulai.”
“Ya sudah, hati – hati ya di negeri orang, jaga Rara jangan sampai pental lho”
“Inggih Mak.”
“Yowis, bon corage yo, salam buat Raranya.”
“Nggih Mak.”
Tut tut tut …
Ardi tersenyum, ia sadar mengapa Rara sangat membangga -banggakan orang tuanya di hadapan Ardi. Karena mereka hebat. Sangat hebat untuk ukuran bakul gorengan.
“And then she is Mrs. Rara, give applause Profesor Rara from Indonesia, as a inspirational woman in world.”
Senyum Ardi semakin lebar, “Inikah anak bakul gorengan yang aku kenal? Sungguh lebih dari cantik, sungguh mempesonanya gadisku ini. Gambaran nyata kehebatan orang tuanya.”
*****
Ardi masih saja tersenyum selepas acara seminar Rara. “Mas Ardi, Rara llihat dari tadi Mas Ardi tersenyum terus, ada yang salah sama Rara?” tanya Rara penasaran.
“Ah, tidak ada yang salah, Rara istriku. Hanya aku merasa sangat bangga mempunyai istri sepertimu.” Ardi terdiam sejenak sambil tersenyum lebih lebar. “Apa kau tak malu punya suami hanya wiraswasta seperti aku? Sedangkan dirimu bergelar Profesor.” lanjut Ardi bimbang.
Rara tersenyum, sehingga Ardi menjadi bingung. “Mas, seorang ibu harus memiliki pendidikan yang tinggi karena dia akan menjadi madrasah pertama bagi anak - anaknya kelak. Itu alasan Rara mengejar pendidikan setinggi mungkin. Dan untuk pekerjaan Mas Ardi, yang Rara tahu Allah telah menentukan rezeki orang dengan jalan dan cara masing - masing. Selama itu halal Rara akan menerimannya, Mas, apa yang salah dengan seorang wirausaha apalagi dia bisa membuka lapangan kerja untuk orang lain.” tutur Rara dengan antusias.
Ardi hanya bisa tersenyum, “Aku tidak salah mencari istri. Rara, istriku yang solekhah, cerdas, dan bijaksana.”
“Ah, Mas Ardi bisa saja.” merahlah wajah Rara.

“ Bu Profesor mau makan apa hari ini? Oh, nasi putih dan kepiting rebus? Baik, kepiting rebusnya sudah berwarana kemerahan. “ sindir Ardi sambil mengerlingkan mata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar